Oleh : Ulamatuah Saragih |
- Sekalipun
sudah banyak kebijakan dan pembentukan lembaga untuk pemberantasan
korupsi, namun tindak pidana korupsi di Indonesia masih merupakan
salah satu jenis kejahatan yang paling susah diatasi. Tumbangnya rezim
Orde Baru, tidak membawa perubahan yang signifikan dalam mengurangi
kuantitas dan kualitas tindak pidana korupsi. Jika pada Orde Baru,
tindak pidana korupsi bersifat sentralisasi, maka setelah reformasi
semakin merajalela ke hampir semua jenjang birokrasi, termasuk ke
lingkungan pemerintah daerah.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah dinilai berbagai kalangan terlalu memberikan keluasaan
(disrectory of power) kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negatif di daerah. Istilah “
gejala negative“
ini didasarkan pada pengamatan terhadap indikator tertentu, di
antaranya bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN.
Virus KKNK (Korupsi, Kolusi Nepotisme, dan Kroniisme) juga berkembang
biak di daerah. Kebijakan otonomi daerah bisa tersesat maknanya
menjadi desentralisasi korupsi. Otonomi bisa dimaknai sebagai “
bagi-bagi kesempatan ” dari pusat kepada daerah untuk mencicipi nikmatnya kue KKNK. Aktor-aktor kekuasaan di level daerah mungkin “
lupa diri“ dengan memaknai otonomi sebagai redistribusi kekuasaan untuk mereka.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka ada sejumlah faktor
yang mendorong timbulnya korupsi. Adanya Dana Alokasi Umum (DAU) yang
merupakan transfer dari pemerintahan pusat, maka daerah berhak
mengalokasikannya sesuai pertimbangan-pertimbangan dan kebutuhan
daerah. Berkaitan denagn keleluasaan pengeluaran DAU, masalah yang
muncul adalah adanya kecenderungan kebebasan yang kurang terkendali
baik dari eksekutif maupun legislatif. Di sisi lain adanya
ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU yang sepenuhnya diserahkan pada
eksekutif dan legislative.
Koordinasi dan Silaturahmi
Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah relatif begitu besar. Tidak
mengherankan jika setelah reformasi dan era otonomi daerah maka ada
julukan munculnya “
raja-raja kecil“ di daerah. Kendatipun dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak dikenal lagi terminology “
penguasa tunggal“,
namun secara sosiologis dan psikologis posisi kepala daerah adalah
tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan
maupun protokolernya. Secara yuridis, kepala daerah memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD. Namun di pihak lain, kepala daerah bertugas
mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat di
daerah. Dalam konteks melakukan “
koordinasi “, kepala
daerah merupakan koordinator terhadap lembaga vertikal lainnya.
Selain itu, kendati tidak ada peraturan yang jelas, masih
dihidupkannya lembaga “
Muspida“ atau “
Muspida Plus“, baik di provinsi maupun kabupaten/kota; dalam prakteknya juga dipimpin kepala daerah.
Dengan demikian, kepala daerah melakukan koordinasi untuk menjalankan
tugas-tugas tertentu dengan unsur Muspida Plus lainnya
seperti Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua PT, Ketua DPRD Propinsi dan
instansi lainnya untuk propinsi, serta Dandim, Kapolres, Kajari,
Ketua PN, Ketua DPRD untuk kabupaten/kota. Lebih dari
mengkoordinasikan, para kepala daerah juga “
memfasilitasi “ unsur Muspida lainnya baik melalui APBD (boleh resmi tapi tak punya dasar hukum) dan ada juga bersifat pribadi.
Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida
Plus, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya
instansi vertikal lainnya itu memiliki anggaran tersendiri dari
instansi induknya di pusat. Tapi tak jarang karena “kedekatan hubungan
“antar kepala daerah dengan pejabat Muspida Plus tadi, diciptakan
pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar
hukumnya tidak ada, tapi mungkin terjadi persekongkolan dan juga
korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum dipergunakan
sebagai alat kejahatan (
law as tool of crime).
Dari uraian di atas, tampak adanya
“koordinasi” dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah juga memberi sisi negatif yang
memungkinkan terjadinya korupsi sekaligus menjadi hambatan dalam
pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan daerah. Dengan adanya
koordinasi dan fasilitasi tadi, bagaimana mungkin seorang Kepala
Kejaksaan Tinggi atau seorang Kapolda sanggup memeriksa seorang
gubernur ketika diduga melakukan korupsi; demikian halnya di tingkat
Kabupaten/Kota. Dugaan tersebut sebenarnya sudah terindikasi. Ada
semacam tradisi di berbagai daerah, bahwa manakala kepala daerah
tersangkut kasus hukum atau korupsi maka yang melakukan proses
penyidikannya bukanlah lembaga yang setingkat dengannya. Jika seorang
gubernur tersangkut kasus korupsi, maka biasanya yang melakukan
proses hukum adalah Kapolri atau Jaksa Agung; sedangkan jika yang
bermasalah adalah Bupati/Walikota, maka yang melakukan prosesnya
adalah Kapolda atau Kajati. Ada juga tradisi yang sudah lama
berlangsung di antara kalangan pejabat melakukan “
silaturahmi”
ataupun pertemuan informal baik dalam acara-acara yang bersifat
keagamaan, kegiatan kemasyarakatan bahkan kegiatan keluarga yang
bersifat pribadi.
Dalam kesempatan seperti itu para pejabat Muspida Plus duduk satu
meja, sesuai dengan aturan protokolernya. Secara psikologis di situ
akan timbul keakraban dan “
saling memberi “ di antara
kalangan para pejabat tersebut. Secara sosiologis, kegiatan
silaturahmi ini berdampak negatif dalam penegakkan hukum, termasuk
pemberantasan korupsi, khususnya di kalangan pejabat. Timbulnya, “
keakraban“, “
saling pengertian“, dan “
saling memberi“,
pada akhirnya menghasilkan TST (tahu sama tahu). Secara luas telah
berkembang tahu sama tahu yang merupakan sebutan untuk prinsip yang
menunjukkan adanya toleransi untuk perbuatan-perbuatan jahat.
Sentimen dan Intervensi
Di beberapa daerah telah muncul semacam gerakan bersifat kesukuan
yang mengarah pada keinginan untuk mengambil alih (mendominasi)
seluruh posisi strategis di masyarakat maupun di pemerintahan. Gejala
primordialisme telah menjadi bagian dari pelaksanaan otonomi
daerah. Paling tidak dalam penentuan pejabat-pejabat daerah seperti
Kepala Daerah, Kapolres, Kajari, Pimpinan DPRD atau jabatan
strategis lainnya sering muncul terminology “
putra daerah“.
Sering terjadi dalam proses pencalonan pejabat daerah muncul
aspirasi desakan supaya mengutamakan putera daerah.
Dalam praktek penegakkan hukum, termasuk pemberantasan korupsi,
sering juga terjadi pro-kontra di dalam masyarakat. Di beberapa
daerah ada terjadi, masyarakat pendukung seseorang pejabat akan
berupaya untuk membela dan membuat perlawanan manakala timbul
tindakan hukum. Biasanya pendukung dari kelompok yang berlatar
belakang sama (misalnya–suku) akan melakukan gerakan massa atau unjuk
rasa dalam mempengaruhi para penegak hukum kepada pejabat tertentu.
Data empiris ini sedikit banyak akan mempengaruhi dalam
pemberantasan korupsi; dimana kelompok-kelompok masyarakat yang
bersifat primordial akan terpecah dalam dukung-mendukung seorang
pejabat, baik ketika pencalonan/pemilihan maupun ketika dihadapkan
kepada proses hukum.
Macetnya pemberantasan korupsi di daerah juga disebabkan adanya
intervensi politik dan birokrasi. Ada gejala baru beberapa tahun
terakhir, bahwa para kepala daerah dan wakil kepala daerah, karena
diperbolehkan undang-undang banyak menjadi ketua/pimpinan partai
politik di daerah. Banyak pengamat mengatakan, bahwa sebenarnya selain
untuk melanggengkan kekuasaan secara internal dan kelangsungan
periode berikutnya, maka keterlibatan kepala daerah/wakil kepala
daerah atau pimpinan DPRD menjadi Pimpinan Parpol di daerah juga
sekaligus sebagai tameng manakala terjadi kasus dugaan korupsi
terhadapnya.
Dengan menjadi pimpinan parpol, maka para pejabat tadi secara
otomatis memiliki akses politik sampai ke tingkat pusat (DPP Partai).
Sudah jelas dan logis jika pimpinan pusat partai yang umumnya
mempunyai kedudukan dan jabatan strategis di pusat (birokrasi) akan
berusaha membela dan melindungi kadernya dari jeratan hukum, bahkan
tak jarang adanya intervensi mereka kepada para penegak hukum.
Sesungguhnya dengan masuknya seorang kepala daerah menjadi pimpinan partai politik juga melahirkan
conflict interst.
Latar belakang kepentingan politik dan pemerintahan juga menentukan
arah hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD, dan hal ini tentu
saja sangat diwarnai oleh kepentingan politik.
Di berbagai media massa sering kita baca, bahwa kelompok-kelompok
masyarakat melakukan unjuk rasa atau demonstrasi untuk menuntut
percepatan penanganan sejumlah kasus korupsi. Umumnya kontrol sosial
ini dilakukan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ataupun organisasi
kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh kristis dari kalangan perguruan
tinggi. Masalahnya di daerah-daerah terutama di tingkat kabupaten/kota,
sering sekali sumber daya manusia LSM itu juga tidak memadai untuk
mendorong dan melakukan sosial kontrol terhadap pemberantasan
korupsi. Di beberapa daerah yang ada perguruan tinggi, maka para
dosen dan mahasiswa yang mempunyai kepedulian akan melakukan kontrol
sosial tersebut kendati hanya sebatas membuat surat pengaduan,
membuat pernyataan pers dan mungkin juga melakukan pencerahan kepada
masyarkat tentang perlunya pemberantasan korupsi.
Data empris menunjukkan bahwa proses penegak hukum dan pemberantasan
korupsi akan semakin cepat dilakukan oleh para penegak hukum
manakala sudah ada tekanan dari masyarakat.
Penutup
Untuk melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintah daerah
dalam arti seluas-luasnya perlu diciptakan mekanisme yang jelas
tentang penggunaan APBD. Sebaiknya hubungan kepala daerah dengan DPRD
tetap diposisikan sebagai check ang balances satu sama lain.
Kedudukan kepala daerah sebagai koordinator dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan yang jelas dan rinci. Lebih
dari itu, kiranya perlu diciptakan “ketidaktergantungan“ instansi
vertikal kepada pemerintah daerah. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan
seharusnya tidak memperoleh fasilitas anggaraan dan APBD, tetapi
secara global ditampung oleh APBN.
Di sisi lain, bahwa faktor-faktor primordial dan interaksi di antara
pejabat daerah bisa jadi berpengaruh dalam pemberantasan korupsi di
daerah. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang
bersih maka pola-pola pikir yang primordial dalam menentukan pejabat
harus dihindarkan.
Untuk menjaga netralitasnya sebaiknya para kepala daerah tidak
menjadi pimpinan dari partai politik di daerah. Sebab apabila para
kepala daerah menjadi pimpinan/ketua partai politik, maka intervensi
politik tidak akan terhindarkan, bahkan kebijakan kepala daerah akan
selalu mempunyai agenda tertentu untuk kepentingan partai politik
yang dipimpinnya.
Agar proses pemberantasan korupsi jangan berhenti, maka kontrol
sosial dari masyarakat tetap diperlukan. Oleh karena itu di
daerah-daerah hendaknya ditumbuh-kembangkan SDM yang bisa memberikan
pencerahan kepada masyarakat, khususnya keterlibatan perguruan
tinggi. Sudah sewajarnya pula agar di setiap daerah otonom ada
Perguruan Tinggi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat; serta
menjadi pelopor dalam mendorong partisipasi masyarakat memberantas
korupsi.
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan
hukum, tinggal di Simalungun, sedang mengikuti Program S2 Magister
Ilmu Hukum).