Aneh dan Ganjil, Pergantian Pejabat di Pemkab Simalungun
Oleh : Ramlo R Hutabarat
Dengan terus terang saya akui sekarang, sesungguhnya saya
tidak pernah lulus dari SD Inpres. Persoalannya, waktu itu belum ada SD
Inpres. Saya hanya tamat dari SD Swasta saja, itu pun masuk sore pula.
Dan waktu SMP, benar saya sempat masuk SMP Negeri di Kuala Simpang Aceh
Tamiang (dulu Aceh Timur), tapi akhirnya tamat dari SMP Swasta juga di
SMP PTPN I Kebun Lampahan, Aceh Tengah. Kesimpulannya, sejak sekolah
saya memang orang swasta. Bahkan gelar kesarjanaan saya cuma dari
perguruan tinggi swasta yang tidak memiliki akreditasi, sehingga gelar
itu tidak pernah saya pakai di depan nama saya. Tegasnya, saya tidak
berhak menggunakan gelar kesarjanaan itu hingga nama saya tetap Ramlo R
Hutabarat.
Tapi jangan salah. Meski pun
menjadi murid SD Swasta dan masuk sore pula, saya terbilang cerlang dan
cemerlang di antara kawan-kawan saya satu kelas. Sejak kelas I SD hingga
kelas III SMP saya tetap menjadi Ketua Kelas. Menjadi Ketua Kelas
karena dipilih secara aklamasi oleh teman-teman sekelas, dan disetujui
oleh Wali Kelas. Jelasnya, saya tidak pernah dipilih dan diangkat
menjadi Ketua Kelas secara serampangan dan asal pilih. Dan yang patut
dicatat, saya tidak pernah diberhentikan sebagai Ketua Kelas secara
tiba-tiba dan mendadak tanpa sebab. Ya, meski pun saya Ketua Kelas SD
Swasta yang masuk sore, tapi kedudukan saya sebagai Ketua Kelas tidak
pernah dicopot tanpa alasan yang jelas.
Kondisi yang paradoksal sekarang terjadi di jajaran Pemkab Simalungun,
semasa pemerintahan JR Saragih. Pergantian pejabat pemerintahan di
lingkungan Pemkab Simalungun, agaknya dilakukan dengan gampang sekali
dan terkesan sesuka hati penguasa. Sebulan dua bulan pertama
pemerintahan JR Saragih di Simalungun, saya masih mencatat berapa kali
dilakukan pergantian pjabat. Tapi belakangan karena terlalu acapnya
dilakukan pergantian pejabat, saya pun jadi jenuh dan lelah untuk
mencatatnya. Makanya sekarang, saya tidak tahu lagi sudah berapa pejabat
yang diganti selama sebelas bulan pemerintahan JR Saragih.
Yang menarik dicatat, JR Saragih dilantik pada 28 Oktober
2010, kebetulan hari Kamis. Lantas, besoknya Jumat 29 Oktober 2011
artinya sehari setelah dilantik, JR Saragih mengganti beberapa pejabat
Eselon II. Almarhum Revanus Sormin yang waktu itu memang sudah memasuki
masa usia pensiun, digantikan Anna Girsang sebagai Kepala Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Menjadi lebih menarik, sebab Anna pun
sesungguh sudah memasuki masa usia pensiun juga. Barangkali, inilah
pergantian pejabat yang paling tercepat di tanah air yang pernah
terjadi. Cermati saja, hari ini bupati dilantik besoknya dia melakukan
pergantian pejabat.
Lantas, Senin
berikutnya – hari pertama pada pekan pertama setelah JR Saragih dilantik
- belasan pejabat pun diganti. Selanjutnya dan selanjutnya, aparat
Pemkab Simalungun pun bolak balik diganti terkesan bongkar pasang dan
tambal sulam. Berita-berita pergantian pejabat di jajaran Pemkab
Simalungun pun tak menarik lagi untuk diikuti di surat-surat kabar
karena sudah terlalu sering. Sekiranya saya Pemred sebuah surat kabar
(Pemimpin Redaksi) saya tak akan lagi mempublikasi peristiwa pergantian
pejabat itu karena sudah terlalu sering.
Menjadi aneh dan ganjil, di antara pejabat yang diganti ada yang hanya
hitungan hari diganti lagi dengan orang lain. Ada malah yang dicopot
dari jabatan A misalnya dan ditempatkan di jabatan B tapi dikembalikan
lagi ke jabatan A tadi dalam tempo yang tidak terlalu lama. Binsar
Situmorang yang belum satu tahun bertugas di Pemkab Simalungun misalnya,
sudah pernah menjadi Asisten III Setdakab Simalungun, Kepala Dinas
Koperasi, dan sekarang Kepala Bappeda. Kepala BKD (Badan Kepegawaian
Daearah) dalam tempo belum satu tahun sudah beberapa kali pula diganti.
Padahal, SKPD ini merupakan salah satu SKPD yang cukup taktis dan
strategis di tubuh sebuah Pemkab.
Kepala
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asset Daerah , sudah tiga kali diganti
oleh JR Saragih. Dari Duarman Purba digantikan oleh Resman Saragih yang
‘diimport’ dari Pemko Pematangsiantar, lantas sekarang diganti lagi
oleh Gideon Purba. Kepala Bagian Humas pada Setdakab, sudah diganti
entah sudah berapa kali dalam sebelas bulan terakhir. Mulai dari
Simeseno Hia, Jonny Saragih, entah siapa, Banjarnahor, dan pekan ini
digantikan lagi oleh seseorang yang saya tidak tahu namanya. Begitu juga
yang lain-lain, yang kalau saya paparkan namanya sekarang disini tidak
akan cukup untuk ditampung kolom ini.
Tidak Kondusif
Sebagai seorang awam di bidang pemerintahan, saya tidak
paham sekali dengan tata cara dan mekanisme pergantian pejabat di
lingkungan pemerintahan. Apalagi bila dibanding dengan JR Saragih yang
katanya merupakan seorang doktor dalam bidang ilmu pemerintahan. Saya
hanya bisa membandingkan dengan Pemda (Pemerintah daerah) lainnya di
tanah air, yang tak pernah saya dengar asyik menggonta-ganti pejabatnya.
Tak usah jauh-jauh membandingkannya dengan daerah lain. Pemko
Pematangsiantar saja sebagai tetangga terdekat Pemkab Simalungun, tidak
seobral Pemkab Simalungun ketika mengganti – ganti pejabatnya. Padahal,
Hulman Sitorus yang sekarang Walikota Pematangsiantar, bukan
siapa-siapa latar belakang pendidikannya jika dibandingkan dengan JR
Saragih.
Yang saya pahami hanya, dalam
pergantian pejabat akan diiringi dengan suasana yang baru. Dari jabatan
yang lama kemudian pindah ke jabatan yang baru saya pikir akan terjadi
sesuatu yang harus dipelajari oleh masing-masing pejabat. Suasana yang
baru boleh jadi antara lain membangkitkan gairah kerja, inovasi, kreasi,
bahkan inspirasi. Tapi begitu mendadak dan tiba-tiba dimutasi ke tempat
lain lagi, semua akan sirna dan hilang. Padam. Dan jika kondisi ini
terjadi berulang-ulang, bahkan bisa justru mematikan kreatifitas.
Yang saya pahami juga, pergantian pejabat akan selalu diiringi oleh
pertimbangan-pertimbangan seperti yang diisyaratkan oleh peraturan
perundangan. Juga, tentu, selain pertimbangan-pertimbangan khusus yang
tersirat dan yang tersurat Apalagi, seorang kepala daerah yang sudah
barang tentu memiliki wewenang. Wewenang untuk menjalankan peraturan
perundangan yang berlaku. Jadi justru tidak dengan sewenang-wenang.
Sebab, kesewenang-wenangan bisa melahirkan kelaliman. Dan kelaliman bisa
berbuntut pada penzoliman.
Mencermati pergantian
demi pergantian pejabat di jajaran Pemkab Simalungun yang dilakukan JR
Saragih, saya melihatnya justru malahirkan persoalan baru di
tengah-tengah sesama PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang ada. Itu antara
lain timbulnya persaingan (kompetisi) yang tidak sehat di sesama PNS,
sehingga menimbulkan pula sikap Amat (Ambil Muka Angkat Telor) dan ABS
(Asal Bapak Senang) Sementara, jika sikap yang seperti ini sudah muncul
di tengah PNS itu artinya etos kerja pun dengan sendirinya akan hilang,
di mana prestasi pun tidak lagi mendapatkan apresiasi.
Dalam suatu pemerintahan, saya pikir di sesama aparaturnya perlu dan
mutlak diciptakan suasana kondusif, nyaman dan tenang dalam bekerja.
Sejuk dan teduh, bernaung di bawah kepemimpinan sang pemimpin. Pemimpin
yang dibutuhkan saat ini, adalah pemimpin yang arif dalam mengambil
suatu keputusan yang bersifat kebijakan. Sehingga, semua staf (PNS)
dapat nyaman dan teduh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tidak
malah grasa-grusu, takut dan kuatir kapan diganti. Bahkan boleh jadi,
ketika menuju kantornya ada tanyadalam hati sendiri : Apakah sesampainya
di kantor nanti saya akan diganti ?
Sudah barang
tentu, saya tidak akan mengajari apalagi mendikte JR Saragih untuk
mengambil sebuah kebijakan di Pemkab Simalungun secara khusus dalam soal
ganti menganti pejabat. Apalagi, saya tidak memiliki kapasitas dan
kapabilitas untuk itu. Saya sadar sekali, JR Saragih adalah seorang
pintar dan cerdas, bahkan jago dan jago sekali. Beberapa jenjang
pendidikan yang dimilikinya malah bisa dicapainya secara luar biasa
cepatnya. Suatu prastasi pencapaian jenjang pendidikan yang terabaikan
hingga luput dari catatan MURI (Museum Rekor Indonesia)
Cuma sebagai seorang jurnalis apalagi sebagai anak negeri Simalungun,
saya berharap sekali agar JR Saragih ke depan ini tidak lagi melakukan
pergantian pejabat dengan mendadak dan tiba-tiba sekali, tanpa
pertimbangan bahkan justru melanggar aturan perundangan yang ada.
Seorang Bupati antara lain pernah bersumpah untuk taat dan setia pada
Pancasila dan UUD 1945, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dan
kalau seorang Bupati melanggar sumpahnya, menurut Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 seorang Bupati bisa diusulkan oleh DPRD untuk diberhentikan
oleh Menteri Dalam Megeri.
Hemat saya, selama ini
DPRD Simalungun sudah cukup ‘bermurah hati’ terhadap JR Saragih dengan
tidak melakukan langkah politik apa pun untuk meninjau kembali
kedudukannya sebagai Bupati Simalungun. Tapi jangan karena
mentang-mentang DPRD Simalungun ‘bermurah hati’ , JR Saragih pun
mengambil sikap mumpung dan terus melakukan kesalahan yang sama
berulang-ulang. Ingat saja ketika Plt Gubsu Gatot mengganti beberapa
pejabat di lingkungan Pempropsu dengan tidak sesuai aturan, langkah apa
yang dilakukan DPRD Sumatera Utara. Meski pun belakangan langkah DPRD
Sumatera Utara tadi mentok oleh kekuatan politik yang tidak memihak
kepada mereka.
Saya yang tamat dari SD Swasta dan
masuk sore ini saja waktu menjadi Ketua Kelas dulu, tidak gampang
diganti dan Ketua Kelas kami memang tak pernah pula diganti-ganti. Konon
pula saya pikir, pejabat-pejabat di lingkungan Pemkab Simalungun.
Percayakah Anda – Pembaca – pejabat pemerintah itu lebih jago dari Ketua
Kelas SD Swasta yang masuk sore ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar