Jumat, 16 September 2011

DIMENSI SOSILOGIS PEMBERANTASAN KORUPSI PADA OTONOMI DAERAH


Oleh : Ulamatuah Saragih |
         - Sekalipun sudah banyak kebijakan dan pembentukan lembaga untuk pemberantasan korupsi, namun tindak pidana korupsi di Indonesia masih merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling susah diatasi. Tumbangnya rezim Orde Baru, tidak membawa perubahan yang signifikan dalam mengurangi kuantitas dan kualitas tindak pidana korupsi. Jika pada Orde Baru, tindak pidana korupsi bersifat sentralisasi, maka setelah reformasi semakin merajalela ke hampir semua jenjang birokrasi, termasuk ke lingkungan pemerintah daerah.                                 

Dengan diberlakukannya otonomi daerah  dinilai berbagai kalangan terlalu memberikan keluasaan  (disrectory of power) kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negatif di daerah. Istilah “gejala negative“ ini didasarkan pada pengamatan terhadap indikator tertentu, di antaranya bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN.         

Virus KKNK (Korupsi, Kolusi Nepotisme, dan Kroniisme) juga berkembang biak di daerah. Kebijakan otonomi daerah bisa tersesat maknanya menjadi desentralisasi korupsi. Otonomi bisa dimaknai sebagai “ bagi-bagi kesempatan ” dari pusat kepada daerah untuk mencicipi nikmatnya kue KKNK. Aktor-aktor kekuasaan di level daerah mungkin “lupa diri“ dengan memaknai otonomi sebagai redistribusi kekuasaan untuk mereka.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka ada sejumlah faktor yang mendorong timbulnya korupsi. Adanya Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan transfer dari pemerintahan pusat, maka daerah berhak mengalokasikannya sesuai pertimbangan-pertimbangan dan kebutuhan daerah. Berkaitan denagn keleluasaan pengeluaran DAU, masalah yang muncul adalah adanya kecenderungan kebebasan yang kurang terkendali baik dari eksekutif maupun legislatif. Di sisi lain adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU yang sepenuhnya diserahkan pada eksekutif dan legislative.


Koordinasi dan Silaturahmi            
Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah relatif begitu besar. Tidak mengherankan jika setelah reformasi dan era otonomi daerah maka ada julukan munculnya “raja-raja kecil“ di daerah. Kendatipun dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak dikenal lagi terminology “penguasa tunggal“, namun secara sosiologis dan psikologis posisi kepala daerah adalah tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan maupun protokolernya. Secara yuridis, kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Namun di pihak lain, kepala daerah bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat di daerah. Dalam konteks melakukan “koordinasi “,  kepala daerah merupakan koordinator terhadap lembaga vertikal lainnya. Selain itu, kendati tidak ada peraturan yang jelas,   masih dihidupkannya lembaga “Muspida“ atau “Muspida Plus“, baik di  provinsi maupun kabupaten/kota;  dalam prakteknya juga dipimpin  kepala daerah.

Dengan demikian, kepala daerah melakukan koordinasi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu dengan unsur Muspida Plus lainnya seperti Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua PT, Ketua DPRD Propinsi dan instansi lainnya untuk propinsi, serta Dandim, Kapolres, Kajari, Ketua PN, Ketua DPRD untuk kabupaten/kota. Lebih dari mengkoordinasikan,  para kepala daerah juga  “memfasilitasi “ unsur Muspida lainnya baik melalui APBD (boleh resmi tapi tak punya dasar hukum) dan ada juga  bersifat pribadi.

Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida Plus, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya instansi vertikal lainnya itu memiliki anggaran tersendiri dari instansi induknya di pusat. Tapi tak jarang karena “kedekatan hubungan “antar kepala daerah dengan pejabat Muspida Plus tadi, diciptakan pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar hukumnya tidak ada, tapi mungkin terjadi persekongkolan dan juga korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum  dipergunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime).

Dari uraian di atas, tampak  adanya “koordinasi” dalam pelaksanaan pemerintahan daerah juga memberi sisi negatif yang memungkinkan terjadinya  korupsi sekaligus menjadi hambatan dalam pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan daerah.  Dengan adanya koordinasi dan fasilitasi tadi, bagaimana mungkin seorang Kepala Kejaksaan Tinggi atau seorang Kapolda sanggup  memeriksa seorang gubernur ketika diduga melakukan korupsi; demikian halnya di tingkat Kabupaten/Kota. Dugaan tersebut  sebenarnya sudah terindikasi. Ada semacam tradisi di berbagai daerah, bahwa manakala kepala daerah tersangkut kasus hukum atau korupsi maka yang melakukan proses penyidikannya bukanlah lembaga yang setingkat dengannya. Jika seorang gubernur tersangkut kasus korupsi, maka biasanya yang melakukan proses hukum adalah Kapolri atau Jaksa Agung; sedangkan jika yang bermasalah adalah Bupati/Walikota, maka yang melakukan prosesnya adalah Kapolda atau Kajati. Ada juga tradisi yang sudah lama berlangsung di antara kalangan pejabat melakukan “silaturahmi” ataupun pertemuan informal baik dalam acara-acara yang bersifat keagamaan, kegiatan kemasyarakatan bahkan kegiatan keluarga yang bersifat pribadi.

Dalam kesempatan seperti itu  para pejabat Muspida Plus  duduk satu meja, sesuai dengan aturan protokolernya. Secara psikologis di situ akan timbul keakraban dan “ saling memberi “ di antara kalangan para pejabat tersebut. Secara sosiologis, kegiatan silaturahmi ini  berdampak negatif dalam  penegakkan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, khususnya di kalangan pejabat. Timbulnya, “keakraban“, “saling pengertian“, dan “saling memberi“, pada akhirnya  menghasilkan TST (tahu sama tahu). Secara luas telah berkembang tahu sama tahu yang merupakan sebutan untuk prinsip yang menunjukkan adanya toleransi untuk perbuatan-perbuatan jahat.


Sentimen dan Intervensi            
Di beberapa daerah telah muncul semacam gerakan bersifat kesukuan yang mengarah pada keinginan untuk mengambil alih (mendominasi) seluruh posisi strategis di masyarakat maupun di pemerintahan. Gejala primordialisme  telah menjadi bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Paling tidak dalam penentuan pejabat-pejabat daerah seperti  Kepala Daerah, Kapolres, Kajari, Pimpinan DPRD atau jabatan strategis lainnya sering muncul terminology “putra daerah“. Sering terjadi dalam proses pencalonan pejabat daerah muncul aspirasi desakan supaya mengutamakan putera daerah.         

Dalam praktek penegakkan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, sering juga terjadi pro-kontra di dalam masyarakat. Di beberapa daerah ada terjadi, masyarakat pendukung seseorang pejabat akan berupaya untuk membela dan membuat perlawanan manakala timbul tindakan hukum. Biasanya pendukung dari kelompok yang berlatar belakang sama (misalnya–suku) akan melakukan gerakan massa atau unjuk rasa dalam mempengaruhi para penegak hukum kepada pejabat tertentu. Data empiris ini sedikit banyak akan mempengaruhi dalam pemberantasan korupsi; dimana kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat primordial akan terpecah dalam dukung-mendukung seorang pejabat, baik ketika pencalonan/pemilihan maupun ketika dihadapkan kepada proses hukum.            
Macetnya pemberantasan korupsi di daerah juga disebabkan adanya intervensi politik dan birokrasi. Ada gejala baru beberapa tahun terakhir, bahwa para kepala daerah dan wakil kepala daerah, karena diperbolehkan undang-undang banyak menjadi ketua/pimpinan partai politik di daerah. Banyak pengamat mengatakan, bahwa sebenarnya selain untuk melanggengkan kekuasaan secara internal dan kelangsungan periode berikutnya, maka keterlibatan kepala daerah/wakil kepala daerah atau pimpinan DPRD menjadi Pimpinan Parpol di daerah juga sekaligus sebagai tameng manakala terjadi kasus dugaan korupsi terhadapnya.

Dengan menjadi pimpinan parpol, maka para pejabat tadi secara otomatis memiliki akses politik sampai ke tingkat pusat (DPP Partai). Sudah jelas dan logis jika pimpinan pusat partai yang umumnya mempunyai kedudukan dan jabatan strategis di pusat (birokrasi) akan berusaha membela dan melindungi kadernya dari jeratan hukum, bahkan tak jarang adanya intervensi mereka kepada para penegak hukum.

Sesungguhnya dengan masuknya seorang kepala daerah menjadi pimpinan partai politik juga  melahirkan conflict interst. Latar belakang kepentingan politik dan pemerintahan juga menentukan arah hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD, dan hal ini tentu saja sangat diwarnai oleh kepentingan politik.  
            
Di berbagai media massa sering kita baca, bahwa kelompok-kelompok masyarakat melakukan unjuk rasa atau demonstrasi untuk menuntut percepatan penanganan sejumlah kasus korupsi. Umumnya kontrol sosial ini dilakukan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ataupun organisasi kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh kristis dari kalangan perguruan tinggi. Masalahnya di daerah-daerah terutama di tingkat kabupaten/kota, sering sekali sumber daya manusia LSM itu juga tidak memadai untuk mendorong dan melakukan sosial kontrol terhadap pemberantasan korupsi. Di beberapa daerah yang ada perguruan tinggi, maka para dosen dan mahasiswa yang mempunyai kepedulian akan melakukan kontrol sosial tersebut kendati hanya sebatas membuat surat pengaduan, membuat pernyataan pers dan mungkin juga melakukan pencerahan kepada masyarkat tentang perlunya pemberantasan korupsi.

Data empris menunjukkan bahwa proses penegak hukum dan pemberantasan korupsi akan semakin cepat dilakukan oleh para penegak hukum manakala sudah ada tekanan dari masyarakat.


Penutup            
Untuk melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintah daerah dalam arti seluas-luasnya perlu diciptakan mekanisme yang jelas tentang penggunaan APBD. Sebaiknya hubungan kepala daerah dengan DPRD tetap diposisikan sebagai check ang balances satu sama lain.

Kedudukan kepala daerah sebagai koordinator dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan yang jelas dan rinci. Lebih dari itu, kiranya perlu diciptakan “ketidaktergantungan“ instansi vertikal kepada pemerintah daerah. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan seharusnya tidak memperoleh fasilitas anggaraan dan APBD, tetapi secara global ditampung oleh APBN.         

Di sisi lain, bahwa faktor-faktor primordial dan interaksi di antara pejabat daerah bisa jadi berpengaruh dalam pemberantasan korupsi di daerah. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih maka pola-pola pikir yang primordial dalam menentukan pejabat harus dihindarkan.

Untuk menjaga netralitasnya sebaiknya para kepala daerah tidak menjadi pimpinan dari partai politik di daerah. Sebab apabila para kepala daerah menjadi pimpinan/ketua partai politik, maka intervensi politik tidak akan terhindarkan, bahkan kebijakan kepala daerah akan selalu mempunyai agenda tertentu untuk kepentingan partai politik yang dipimpinnya.

Agar proses pemberantasan korupsi jangan berhenti, maka kontrol sosial dari masyarakat tetap diperlukan. Oleh karena itu di daerah-daerah hendaknya ditumbuh-kembangkan SDM yang bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya keterlibatan  perguruan tinggi. Sudah sewajarnya pula agar di setiap daerah otonom ada Perguruan Tinggi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat; serta menjadi pelopor dalam mendorong partisipasi masyarakat memberantas korupsi.
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan hukum, tinggal di Simalungun, sedang mengikuti Program S2 Magister Ilmu Hukum).            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar